“Say, makan siang yuk!”
“Emmm.. Enggak deh. Gue lagi diet.”
“Beneran?”
“Hehe, enggak sih. Gue tadi impulsif
beli heels baru. Habis deh jatah makan siang dua minggu ke depan.”
Kenal teman yang sering banget seperti
ini? Atau mungkin kamu sendiri pernah melakukannya?
Kehidupan modern dan segala macam
kebutuhan yang perlu dipenuhi secara serentak ini tentu rasanya familiar,
terutama bagi anak muda urban yang sedang berjuang mandiri dalam kehidupannya
sendiri. Namanya juga udah kerja keras dan baru punya penghasilan, tentu saja
harus ada reward untuk diri sendiri.
Ya kan? Ya kan?
Berbicara tentang kaum urban, mereka
(atau mungkin kita) adalah kalangan menengah yang beruntung karena sempat
nonton AADC sama gebetan menempuh pendidikan dan memiliki pekerjaan. Setidaknya
kita jarang terpapar kemiskinan yang jadi problem saudara-saudari kita di
pelosok atau daerah konflik sana.
Tapi kenapa untuk memenuhi gaya hidup,
kita sering kali jadi lebih menderita dari mereka yang memang serba kekurangan?
Mungkin ada yang salah dari cara kita
mengartikan kesuksesan.
Sebuah cerita tentang generasi yang
memilih bisa tampil mapan ketimbang bisa makan dengan layak
Begitu banyak kaum muda profesional yang
berpikir bahwa untuk menghasilkan lebih banyak uang, mereka harus menghabiskan
banyak uang. Kira-kira begitulah yang disampaikan oleh Gayatri Jayaraman dalam
artikelnya yang berjudul “The Urban Poor You Haven’t Noticed: Millenials Who’re
Broke, Hungry, But On Trend”.
“Urban poor” adalah konteks yang
digunakan Gayatri untuk menggambarkan kaum muda usia 20-an yang mendapatkan
tekanan dari sekitar mereka untuk memiliki gaya hidup yang tinggi. Mereka
menghabiskan hampir seluruh gaji yang belum seberapa untuk menjaga gaya hidup.
Karena mereka percaya, gaya hidup itu penting untuk mempertahankan dan
meningkatkan kehidupan profesional dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan
lagi.
Padahal, dengan setiap kenaikan
pendapatan, harga yang harus dibayar untuk mempertahankannya ikut naik pula.
Kamu yang awalnya sangat pede mengenakan
kaos dan jins saja saat magang atau di tahun pertamamu bekerja, kemudian
menjadi mencari-cari kupon diskon toko online demi beberapa potong blazer dan
setelan resmi yang pantas dikenakan ketika rapat dengan klien yang selalu rapi.
Kamu yang sebenarnya cukup puas dengan
kopi sachet dua ribuan, jadi ikut mengeluarkan lima puluh ribuan untuk gerai
kopi yang menawarkan kartu member. Kamu yang sebenarnya bisa menunggu sampai
film box office nongol di layar kaca, jadi harus nonton selama masih tayang di
bioskop, ditambah popcorn dan soda yang sekali teguk menyisakan rasa gula yang
pekat dan mahal.
Pilihan itu selalu ada. Hanya saja,
harga diri tidak memperbolehkan kita untuk memilih yang cuma seadanya
Seperti Gayatri, saya juga punya cerita
tentang teman-teman yang tidak keberatan menukar kebutuhan dengan gengsi.
Seorang teman rela berhutang demi bayar
uang muka mobil, yang cicilannya pun tidak tahu akan ia bayar dengan apa.
Ada juga yang mau tak mau harus betah
menyewa kamar yang sempit dan tanpa sirkulasi udara demi bisa mengoleksi sepatu
olahraga.
Seorang kenalan selalu berpindah-pindah
masjid untuk mengisi perut dengan takjilan gratis saat Ramadhan demi menebus
lensa kamera baru di hari raya.
Temannya teman saya sudah lama tidak
nongol untuk sekadar kumpul-kumpul santai dengan teman lama dengan alasan
sedang berhemat, tapi di satu Minggu yang cerah kepergok sedang rekreasi ke
Dufan dan ngebayarin cewek barunya.
Dan jangan pura-pura tidak tahu, banyak
dari kita yang menggesek kartu kredit untuk berbelanja barang-barang yang
harganya lebih besar dari penghasilan bulanan kita.
Rasa lapar, baik itu yang tersembunyi
dalam becandaan atau menyaru jadi gaya hidup sehat, adalah irisan universal
yang sama-sama kita rasakan. Ketika ada teman kita yang mulai giat membawa
bekal makanan sendiri, giat menurunkan berat badan, sampai rela berjam-jam
lembur di kantor hanya untuk mendapatkan jaringan wifi lebih lama lagi, kita
dapat memahami apa yang terjadi.
Karena kita pun sama, melakukannya untuk
alasan yang tidak masuk akal tapi sangat bisa kita terima.
Untuk setiap pengeluaran, selalu ada
alasan-alasan yang kita sampaikan. Seringnya, karena menganggap itu kebutuhan
Kita sadar kita bokek – ini sudah masuk
alam bawah sadar. Bahkan saat tanggal muda dan mengecek rekening yang baru
terisi oleh gaji bulanan. kita sadar kita akan bokek sebentar lagi. Pikiran langsung
melayang ke posko pengeluaran yang mengantre di depan mata. Uang kos, uang
makan, transportasi, perbaikan alat elektronik, barang di online shop yang
sudah lama diincar, rencana liburan, cicilan sana-sini, dan lain-lainnya.
Selain pengeluaran yang sudah jadi
perhitungan sebelumnya, kita juga mulai mengalkulasi biaya untuk perbaikan
hidup. Karena untuk kesejahteraan hidup yang naik kelas, sangat penting untuk
sejajar dengan mereka yang sudah di tingkat atas juga. Bukankah begitu alasan
kita?
Karenanya kita mulai berinvestasi pada
segala hal: pendidikan, penampilan, bahkan pertemanan. Bekerja keras sebagai
kaum profesional muda yang ingin mengejar kesuksesan dalam tempo waktu
sesingkat-singkatnya. Mengartikan sukses sebagai kemampuan membeli, alih-alih
memberi.
Susah menolak ajakan-ajakan dan
rutinitas yang menghabiskan uang. Sebenarnya di lubuk hatimu, kamu ingin bilang
tidak. Tapi akan lebih rumit menerima tekanan sosial yang muncul dari
penolakanmu, sehingga kamu tidak mau ambil pusing. Jadi untuk lebih mudahnya,
kamu bilang pada dirimu sendiri bahwa ini adalah kebutuhan. Toh hanya sesekali,
ya kan?
Lambat laun, sesekali jadi berkali-kali,
dan yang insidental jadi rutinitas. Musnah sudah rencana utopis menyisihkan 30%
gaji di awal bulan untuk tabungan masa depan.
Mungkin ini saatnya kita sedikit
mengalah dan mengakui, tidak sehat bila terus hidup seperti ini
Sesekali mencicipi gemerlapnya kehidupan
urban masa kini memang tak ada salahnya. Kamu jadi mengerti hal-hal yang tidak
kamu pelajari dalam teori perkuliahan. Tentang idealisme dan identitas yang
semakin bertubrukan, juga tentang keinginan dan kebutuhan yang tak jarang
selalu bersisian.
Tak apa sesekali mengejar sesuatu yang
duniawi. Justru sikap antipati tak akan membawa kita kemana-mana. Banyak
pribadi tangguh yang dihasilkan dari perjuangan dan kompetisi di dunia yang
memandangmu sebatas penampilan di awal ini.
Namun sebelum yang duniawi jadi begitu
menggerogoti, cobalah untuk membuat batasanmu sendiri. Apa iya demi gadget
terbaru, orang tua di rumah masih mengirimkan uang bulanan ekstra agar anaknya
tidak kelaparan di kota tetangga? Apa iya demi liburan ke tempat-tempat
eksotis, uang sekolah adik-adik harus ditunggak sampai semester depan?
Mengorbankan gaya hidup memang sulit.
Kita akan kehilangan banyak hal. Bisa-bisa kita direndahkan, dikucilkan, bahkan
menanggung malu karena ketahuan tidak mampu.
Namun semalu-malunya itu, ingatlah untuk
lebih malu lagi kalau ketika memaksakan diri untuk lebih menuruti keinginan
daripada kebutuhan.
Toh, tubuh yang sehat dan pikiran yang
tenang berkat pola hidup sederhana jauh lebih berharga dari langkah-langkah
gemerlap yang dihantui oleh hutang dan cicilan esok hari.
Bagi Orang yang Baru Punya Penghasilan. Lu Masih Rela Bokek Demi Gaya Hidup Kekinian? Hadeh Moment
4/
5
Oleh
Unknown